Mirisnya pekerja rendahan di Jepang, jarang cuti sampai mati
Bekerja di Jepang dengan gaji sekitar Rp 20 juta per bulan tentu sangat menggiurkan apabila dibandingkan dengan bekerja di Jabodetabek dengan upah minimum Rp 2,6-3 juta per bulan. Ditambah lagi Jepang merupakan negara berteknologi canggih yang membuat segala pekerjaan tampak mudah.
Namun, hal yang tampak indah dilihat belum tentu indah saat dirasakan. Tak sedikit salaryman atau warga Jepang yang menggantungkan hidup dari gaji bulanan tak tahan dengan kehidupan pekerja di Jepang.
Salaryman ini biasa ditemukan di perusahaan berbasis korporasi. Untuk ukuran kehidupan di Jepang, gaji salaryman hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya sehari-hari. Bahkan tak sedikit yang harus hidup berpindah-pindah lantaran tidak sanggup menyewa tempat tinggal.
Namun, mereka terus mempertahankan pekerjaannya, lembur siang dan malam, bahkan sampai rela mati lantaran sulitnya mendapat pekerjaan di Jepang terutama bagi lulusan baru dan memiliki beban finansial yang besar.
Istilah rela mati tersebut di Jepang disebut karoshi. Seperti dilaporkan situs Facts and Details, karoshi bisa disebabkan karena kecelakaan di tempat kerja, kematian karena terlalu lelah.
Salah satu kasus karoshi yang cukup fenomenal adalah Kenichi Uchino yang pingsan dan kemudian meninggal ketika bekerja. Kejadian tersebut dikarenakan Uchino yang bekerja lembur 80 jam setiap bulan tanpa gaji tambahan. Padahal pria tersebut tergolong masih muda, usianya baru 30 tahun.
Menurut situs canada.com, Minggu (1/7) salaryman memang sering mengorbankan kehidupan pribadi mereka demi keuntungan perusahaan. Ironisnya, pihak perusahaan seolah tidak menghargai kerja keras mereka. Kasus Uchino tersebut diduga karena kelelahan bekerja lantaran rata-rata salaryman memang hanya tidur empat jam dalam sehari.
Tahun 2002 lalu, di Jepang terjadi rekor kematian akibat kerja berlebihan. Sedikitnya 300 orang pekerja kantor dan pabrik di Jepang mati karena overdosis kerja. Karoshi di Jepang sudah mencuat di Jepang sejak tahun 70-an. Kasus resmi pertama karoshi dilaporkan tahun 1969, berupa kematian seorang pekerja lelaki berumur 29 tahun akibat stroke.
Mengapa karoshi selama ini hanya menjadi masalah serius di Jepang? Kenapa di negara industri maju lainnya di Amerika utara atau di Eropa, jarang terdengar masalah serupa? Rupanya budaya kerja orang Jepang memang berbeda dengan budaya kerja di Eropa tengah atau di Amerika utara.
Para pekerja di Jepang bekerja lebih panjang dibanding rekannya di negara maju lainnya. Statistik menunjukkan, setiap tahunnya pekerja Jepang bekerja lebih dari 2.000 jam. Sementara di Amerika Serikat 1.900 jam kerja dan di Perancis, Inggris serta Jerman rata-rata 1.800 jam kerja per tahun per pekerja. Selain itu, para pekerja Jepang lebih sering merelakan hari liburnya untuk bekerja.
Sebuah survei pada tahun 2004 oleh International Labour Organization menemukan bahwa lebih dari enam juta orang Jepang bekerja rata-rata lebih dari 60 jam per minggu.
Ada fenomena lain yang terkait dengan kematian yang disebabkan oleh pekerjaan yaitu karo jisatsu. Berbeda dengan karoshi, karo jisatsu adalah kematian lantaran bunuh diri sebab seseorang terlalu banyak bekerja.
Karo jisatsu dilakukan seorang pegawai 24 tahun tak disebut namanya yang akhirnya bunuh diri pada November 2012, lantaran tertekan. Pemuda nahas itu bekerja di Restoran Sun Challenge sejak 2007, dan diangkat menjadi manajer mulai 2009. Dia kerja lembur rata-rata 190 jam dan hanya diizinkan mengambil 2 hari libur. Dia juga mengalami kekerasan secara fisik dan verbal dari atasannya.
Pengacara orang tua pegawai itu mengatakan, pihaknya menuntut perusahaan setelah menemukan fakta bunuh diri ini tidak lazim. Hal ini dibuktikan dengan tidak sebandingnya apa yang sudah didedikasikan sang pegawai tersebut untuk rumah makan itu.
Pengadilan di Jepang memvonis pemilik rumah makan membayar denda 58 juta Yen (setara Rp 8 miliar). Uang itu diberikan sebagai kompensasi kepada keluarga salah satu pegawainya yang tewas bunuh diri akibat lembur hampir 200 jam sebulan.
Pengadilan Tokyo mengatakan rumah makan steak itu terbukti bersalah mempekerjakan pegawai selalu lebih dari jam kerjanya. Restoran itu juga telah dicabut izin usahanya.
"Dia hanya diberi satu hari libur selama beberapa bulan, akibat dari bekerja terus-terusan, secara psikologis, dia mengalami kelainan mental," ujar hakim Akira Yamada, seperti yang dilansir dari Kyodo News, Selasa (4/11).

